“Jomblo’s day!” teriak gue di tanggal 14 Februari 2013 di
pagi hari, mengundang tawa teman-teman kos. Wah, keluar dari kamar buat kuliah
pagi, sebagian teman kos secara nggak sengaja makai baju dengan warna kebanggan
yang memancarkan cinta ‘pink’. Rasanya, gue pingin ketawa melihat mereka yang
sebagian besar jomblo juga, seperti merayakan hari ini.
Ke kampus, dengan kesenangan tadi malam membuat hari ini
cerah banget. Walau gue nggak kayak teman yang pakai baju ‘pink’ tanda cinta
itu, gue tetap merasakan cinta. Kesenangan tadi malam pun bukan tentang candle light dinner, bukan tentang
pernyataan ‘aku suka kamu’, atau bukan tentang kado yang dipersembahkan buat
seseorang yang spesial. Tetapi, ini tentang cinta yang
tumbuh karena keyakinan.
Tadi malam, Febri, dialah yang saat ini menjadi PJ sebuah
program binaan untuk anak-anak mengajak gue untuk terus bergabung di program
tersebut. Saat penawaran itu terucap, teringat kembali kenangan yang dari itu
gue belajar dan mengerti bahwa itulah arti cinta…
Hujan tak kunjung reda setelah kami, kakak-kakak pembimbing
program binaan anak-anak mengajar anak-anak di sebuah majelis ta’lim. Kami
belum memutuskan untuk pulang hingga hujan reda karena kami lupa membawa
payung, maklum di sini hujan adalah sahabat yang sering kami kenal dan sering
mengajak main dengan tiba-tiba, membuat kuyup bermain bersama. Selain kami di
majelis itu, masih ada dua bocah yang berpakaian lusuh dengan celana pendek
yang sudah bedel bagian pinggirnya.
“Kamu nggak pulang?”
“Nggak, Kak. Ini masih hujan, nggak bawa payung juga”
“Wah, sama, dong kayak kita. Lupa juga bawa payung. Kakak
yang lain juga nggak bawa payung. Ya, udah ayo ke sini, kita makan snack bareng”
Ini adalah pertemuan kedua yang kami adakan kepada anak-anak
di sebuah perkampungan dekat kampus. Mayoritas, mereka bukanlah anak-anak yang
beruntung dapat mengecap bangku sekolah. Di binaan ini terdapat 25 anak yang
tiap Sabtu dan Minggu ikut belajar bersama dan 15-nya adalah mayoritas tadi. Pertemuan
baru ini masih masa perkenalan kami dengan mereka sambil kami mengajar
pelajaran sekolah.
Kami memutuskan pulang walau hujan masih memberi titik-titik
pada wajah kami, basah. Saat kami meminta izin duluan pulang kepada dua bocah
itu, mereka mengangguk dan tersenyum, mengatakan kalau mereka menunggu hingga
hujan benar-benar reda.
Pulang sore dengan basah kuyup, ternyata hujan tadi hanya
reda sebentar. Di kos, segera mandi dan beristirahat. Waaaah, nyaman sekali
tubuh ini diletakkan di kasur, relaksasi otot-otot yang tegang, dan melenturkan
sendi-sendi yang kaku. Pukul 20.00 WIB, entah kenapa gue terbangun tiba-tiba.
God! Gue belum sholat maghrib. Lima menit menyayangkan hal itu, gue beranjak ke
ruang televisi, menonton. Gue lalai.
Rasa lapar di malam hari itu, membuat gue yang sebenernya
sangat malas keluar, mengunci pintu dan berangkat mencari makan. Nasi goreng
spesial, gue pesan di salah satu warung makan depan gang kos gue.
“Assalamu’alaikum… Permisi.” Suara kecrekan dimulai disertai suara menyanyi yang sumbang.
Astaga! Mereka masih ngamen?
“Dek, sini!” mereka menoleh dan bergegas menyalami.
“Hai, Tina, Nina… hayoo, inget Kakak siapa?”
“Kak Obi” Tina menjawab semangat. Dia, yang kutahu
setelah dua kali pertemuan ini adalah seorang kakak dari Nina, tidak bersekolah,
mengamen.
“Kalian makan, yuk bareng Kakak? Mau pesan apa?”
Mereka duduk dengan tertib di depan meja. Menatap
wajah-wajah bocah yang senang ditraktir makan, gue tertawa. Dan mereka segera
menyebut ‘nasi goreng’ memesan kepada abang nasi goreng.
“Kalian suka nggak kami tiap minggu ke sana?”
“Wah seneng, Kak. Seneng! Aku kan jadi bisa baca”
“Aku juga bisa ngitung.” Jawab Nina malu-malu
“Wah, Nina mau bisa ngitung, nih? Sekarang udah bisa ngitung
sampai berapa?”
Nina, bocah berumur lima tahun itu hanya tersenyum malu.
“Tenang, kakak-kakak bakal terus ke sana tiap minggu.
Pastinya, kalian kalau mau bisa, ikut belajar, kita latihan bareng”
Makanan pesanan kami datang. Haruuum dari asap yang keluar
dari nasi-nasi yang digoreng itu membuat kami ingin segera makan.
“Ayo, makan!”
Nina tertunduk dan seperti bicara dalam hati, begitu pun
Tina. Membuat gue berpikir ‘kenapa dia’. Dan gue terkejut sendiri dalam hati, mereka sedang berdoa. Seperti malu, gue yang selama ini sering lupa berdoa sebelum makan,
diingatkan sama dua bocah ini.
“Kalian tinggal di sebelah mana dari majelis?”
“Hmm, di bawah, Kak.”
“Banyak yang di bawah?”
“Nggak, Kak. Cuma rumah kita yang di bawah. Terus kalau... huk uhuk…“ batuk Tina menghentikan kalimatnya.
"Aduh, coba minum dulu" segelas air putih langsung diteguknya.
Kalimat itu pun berhenti sampai di situ dan baru gue ketahui maksudnya saat esok hari.
"Kamu kok malam hari gini masih ngamen?"
"Iya, belum ngantuk kok Kak" jawab Tina masih semangat
"Masa' sih? Emang nggak dimarahin mama?"
"Nggak, kok. Hmm, ibu sakit, Kak."
"Hah, sakit? Sakit apa? Udah berobat?"
"Hmm... Belum, Kak. Belum punya uang." jawab Tina dengan suara mulai menipis, gue merasa iba.
"Kalian berdua nggak takut malam-malam begini? Belajarnya lagi kapan?"
"Nggak takut, Kak"
"Bener, nggak takut? Nanti ada hantu, lho!" meledek mereka dengan gurauan
"Nggak, lah, Kak. Kan selalu ada Allah yang melindungi kita. Dimana pun kita berada, Allah selalu lihat dan kalau kita berdoa, kita jadi berani, deh" jawaban yang meluncur dari bibir mungil Tina membuatku diam. Seperti ada panah panas yang menancap pas di hati.
"Besok, Kakak dan teman-teman ke rumah kalian ya?"
Mereka saling tatap lalu mengangguk. Nasi goreng pun tinggal separuh, lahap mereka memakannya hingga tinggal butir-butir nasi tersebut dan mereka menghabiskannya.
"Wah, gimana nasi gorengnya?"
"Alhamdulillah, Kak. Enak. Kenyang! Terimakasih, ya, Kak."
"Oke. Sekarang, kalian pulang, ya. Ini buat ibu kalian" gue menyerahkan sebungkus nasi goreng dan memberi sedikit uang.
"Baik, Kak. Terima kasih banyak, ya, Kak. Semoga Allah semakin cinta dan selalu melindungi Kakak."
Cinta? Bahkan mengingat-Nya pun gue jarang. Apakah bisa gue dicintai-Nya? Semakin tersudut atas pernyataan dan pertanyaan itu. Hati terasa sakit. Suasana menjadi hening, kata-kata itu membuat gue
berpikir. Kenapa anak-anak ini begitu percaya pada-Mu, Tuhan? Padahal
mereka susah. Dan gue yang selalu lalai, diberikan harta yang
berlimpah, kasih sayang orang tua yang tidak perlu diminta, dan kalau
sakit, gue tinggal ke dokter keluarga. Tetapi, mereka selalu mengingat-Mu, selalu percaya pada-Mu, dan sangat meyakini-Mu. Merekalah justru yang tidak merasa kekurangan walau mata manusia ini begitu kurang melihat layaknya hidup mereka. Mereka mencintai-Mu sepertinya, Tuhan, begitu pun dengan Engkau... Itulah bedanya dengan diri ini yang selalu merasa takut. Takut, tidak bisa dicintai oleh Tuhan, Sang Pencipta Cinta...
Pertemuan gue dengan kedua anak itu adalah yang terakhir kali. Setelah terdengar kabar bahwa sungai merendam sebagian daerah di bantaran sungai dekat tempat binaan kami, kami segera ke daerah itu sebagai relawan. Alangkah sedih kami melihat rumah Tina, Nina dan ibunya tak tampak di permukaan sungai yang mengganas. Mereka dikabarkan hilang.
Biarlah pertemuan ini menjadi yang terakhir di dunia. Kalimat manismu dan kalimat doamu yang terucap malam itu selalu terkenang dan menuntun diri ini menjadi pribadi yang selalu berusaha mencintai dan dicintai oleh Sang Pencipta Cinta.
Semoga kita dipertemukan kembali dalam surga nan abadi yang penuh dengan cinta hakiki dari Sang Pencipta Cinta... Amiiin.