Senin, 10 Desember 2012

Obi, keinginan dan pecahkan!

"Saat ini, aku butuh laptop, Pak!" Obi teriak di telepon genggamnya.

Ayah pernah menjanjikan pada Obi, suatu hari akan dibelikan laptop baru sesuai keinginan Obi. Obi telah mengatakan hal ini kepada teman-temannya. Namun, sampai detik ini, janji itu belum ditepati oleh sang ayah. Obi terus meneror ayahnya dengan SMS dan telepon. Obi sangat kecewa, namun apa yang mesti ia lakukan,    sedangkan ia pun tak punya uang untuk membelinya. Kepalang, ia telah menceritakan janji ayah kepadanya, dan rasa malu pun menjalar di hatinya.

Suatu hari, Obi dan Tika sedang membaca buku di perpustakaan, terpikir liburan yang sebentar lagi datang. Mereka merencanakan sebuah liburan yang sampai-sampai mereka mencari tahu apa-apa tentang tujuan mereka. Obi, yang selalu menginginkan sesuatunya, merasa ia akan menepatinya dengan jarak waktu dua bulan. Dan, Singapura, tujuan liburan mereka.

Saatnya pulang, bibir sumringah terpancar karena Obi tahu, ATMnya akan bertambah isinya. Beasiswanya sudah turun, ia ingin ke dokter kecantikan, membeli pakaian, membeli sepatu, dan menyisihkan untuk liburannya. Semua akan tertata rapi dengan uang ini. Di mobil umum, ia terus membayangkan model sepatu apa yang akan ia beli. SMS dari Ibu masuk, "Bi, kamu bisa bantu Titi tidak? Titi Desember ini akan study tour, Ibu dan Bapak tidak punya uang. Beasiswa kamu ya dipinjam dulu."

Bibir pun tak semeliuk perahu, berubah menjadi datar. Apa yang mesti ia lakukan sedangkan keluarga sangat membutuhkannya. Pasrah, terbanglah bayangan sepatu itu dalam benaknya. Kecewa? Mungkin. Tapi, ia sadari segera bahwa keikhlasannyalah yang dapat menambah pahalanya. Pengusikan secara tiba-tiba itupun berbuah pada pemikiran untuk pembatalan rencananya ke luar negeri. Tak bisa mengetik kata-kata untuk pembatalan kepada Tika, ia urungkan dulu niatnya, mungkin nanti ia cukup bisa untuk memberitahu hal ini. Payah, pikiran itulah yang ia takutkan dikatakan Tika padanya.

Di rumah, ia usir pikiran-pikiran uang beasiswa itu. Ia ingin bebas menikmatinya, tapi hanya orang tidak tahu diuntung yang membiarkan Bapak Ibunya susah. Gundahnya pun berubah pada maslah kebingunannya. Bulan ini adalah bulan perekrutan banyak organisasi kampus. Ia masih berputar-putar pada dua pilihan, organisasi tingkat kampus atau tingkat himpunan profesi. Ia terus menimbang dari keduanya. Organisasi kampus itu telah dijalaninya selama dua tahun dan asyik bahkan sangat kekeluargaan. Dan kalau ia mau, ia tinggal SMS kepada Andi, si ketua dahulu dan ia bisa langsung direkrut pada masa jabatan selanjutnya. Namun, jika aku memilih lainnya, lalu apa hanya untuk mencari wajah baru?

Mulai kegundahan ini membuatnya tidak nyaman pada tempatnya sekarang, ia beranjak, dan mulai berdiskusi dengan Ibunya. Ia rasa, ini tepat. Titi, adiknya akan berangkat dua minggu lagi dan membutuhkan uang sebesar 400 ribu. Celah! Dan kenapa ia tidak bicara dengan ibunya dari tadi. Kalau begini, ia masih bisa ke dokter, dan bayangan model sepatu serta baju mulai membuatnya tersenyum. Ia segera bergegas, mengganti pakaiannya dan pergi.

Tidak ada yang menandingi senyumnya saat ini karena ia telah menunaikan apa yang ia inginkan, kegundahan pun lalu... Terlampiaskan sebagian... Pulang, ia terus berpikir untuk mencari jawaban dari kegundahan lainnya, pilihan untuk terus menteror bapak dan pilihan organisasi mana yang tepat. Angin baik menerpa otaknya, menemukan celah, dan berusaha rela. Uang beasiswa ini masih ada sedikit, besok ia berniat untuk membetulkan leptopnya yang lama, daripada tersiksa terus berharap suatu hal yang datangnya entah kapan, lebih baik ia menggulung waktu menunggunya dan memenuhi kebutuhannya untuk memiliki laptop, yang penting saat ini ia punya, pikirnya.

Seperti domino, pikirannya kini sedang bagus. Ia pecahkan jawaban pada hatinya untuk bergabung di organisasi mana. Himpunan profesi, ia rasa ada angin segar untuk berorganisasi. Ia bosan pada kekurangan uang di keluarga ini, selanjutnya berpikir untuk bekerja paruh waktu. Mungkin dengan himpunan ini, ia memiliki waktu yang lebih luang dibanding bergabung pada pilihan lain. Dan esok adalah perekrutan organisasi ini, maka ia sudah mantap pada pilihannya.

Ia terus menatap telepon genggamnya, akan dikirim atau tidak. Pembatalan rencana yang sudah direncanakan dengan matang, ia harus pupuskan itu dan khawatir membuat Tika kecewa. Ia urungkan kembali mengirim SMS. Mungkin, ini akan lebih baik jika dibicarakan langsung dengan Tika. Apapun yang akan dikatakan Tika, ia terima karena ia telah memilih keluarganya, dan terus menekan keinginannya jika itu bertentangan dengan masalah keluarga. Ya, esok pula ia akan menyelesaikannya.

"Oh, esok semoga engkau tidak menjadi esok. Saat kutempatkan diriku di esok, ku takkan mengatakan esok. Hari ini! Akan kutekadkan semua berlalu di hari ini. Esok, yang akan kukatakan hari ini" harapnya begitu meluap dan bertambah yakin saat berkumpul di ruang tengah bersama keluarganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lihat, baca, dan rasakan. Bagaimana pendapatmu, Kawan?