Sabtu, 07 Juni 2014

Mandalawangi pada suatu masa yang luar biasa...

Nak, Bunda akan menceritakan kepadamu sebuah perjalanan masa muda Bunda bersama sahabat-sahabat Bunda, tertanggal 7-9 Juni 2014. Dengarkan ya, Nak karena kenangan ini sulit untuk diulang kembali bahkan mungkin tidak bisa terulang. 

Perjalanan kali ini adalah perjalanan di tengah kesibukan kami. Niat dari 9 orang yang telah mendaftarkan diri untuk hiking, hanya 5 orang yang berhasil berteman dengan waktu... 

Kekhawatiran memuncak saat pukul 08.00, Ade belum muncul di permukaan padahal pukul 07.10 mengabarkan bahwa dia sudah di Stasiun Bojong Gede. Lebih-lebih, saat teman mengabarkan bahwa ada sistem buka tutup jalan Puncak pukul 09.00. Entahlah, kali ini khawatir Ade kenapa-kenapa karena nggak ada kabar. Berhasil! Dia buat kami, saya, Desty, Dudu, dan Faridh harap-harap cemas. Daaaaaan... datang dengan santai. Dialah yang ditunggu-tunggu datang, Pendekar Oren. Kami segera berangkat menuju tempat yang indah... Yeaaah... 

Pukul 11.00 kami sampai di Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) segera mengurus perizinan dan makan serta sholat Zuhur. Dengan kegiatan packing diomelin Pak Satpam yang nggak membolehkan kami packing di dalam kantor *ya iyalah... Pukul 14.00 langkah kami di HM 00 menuju Kandang Badak TNGGP. Bismillahirrahmanirrahim... 

Dwi (Dudu), Ade, Faridh, Mega, Desty di jembatan menuju Kandang Badak
Nah, inilah sahabat-sahabat Bunda : Om Dudu, Om Ade, Om Faridh, terus Bunda yang menunjukkan dua jari, dan yang paling kanan adalah Tante Desty. Lima orang ini, Nak sedang bergaya selfie di salah satu jembatan menuju Kandang Badak. Jembatan ini di atas rawa dan lumayan panjang. Kalau suatu saat kamu ke sini, gaya selfie ya...  Hahaha entahlah, nanti di zaman kamu masih ada selfie nggak, ya? Hmm itu loh foto diri dengan tangan sendiri. 


Sore hari, kami tiba di Pertigaan Panyangcangan, pertigaan antara Air Terjun Cibeureum, Kandang Badak, dan Jalur Masuk Cibodas. Tadi, kami masuk melalui jalur Cibodas, kalau lurus berarti ke Air Terjun Cibeureum, kalau ke kiri berarti ke Kandang Badak. Nah, pintar... Kalau Bunda mau ke Kandang Badak berarti kemana? Yap, ke kiri... Kami tidak menuju air terjunnya agar segera sampai di Kandang Badak. Tetapi tenang, Nak... Bunda pernah ke air terjunnya, loh untuk menuntut ilmu. Indah dan gagah... 

Nak, angka kilometer di atas itu bukan hanya menunjukkan seberapa jauh kaki kamu harus melangkah, tetapi ini menunjukkan berapa lama dan berapa banyak kenangan kamu bersama orang-orang di sekitar kamu saat itu. Kilometer itu, apakah bisa membuat kamu lebih mengenal mereka dan sebaliknya. Kilometer itu, apakah bisa menyimpan bermeter-meter kenangan untuk masa yang akan datang atau hanya menjadi memori jangka pendek. Kilometer itu, apakah bisa membuatmu bahagia atau hanya membuatmu berdecak lelah... Maksudnya, Bun? Maksudnya, suatu saat kamu akan tahu rasanya, ya kamu akan tahu... 


Dimana pun kita, kita harus saling menghormati dan menghargai. Ingat, kepada siapapun dan kapanpun karena kita tidak hidup sendiri. Om Faridh, Om Dudu, dan Om Ade telah mengucapkan salam kepada abang pendaki lain yang berpapasan. Nggak lupa senyum mengembang. Itu karena kita harus saling menghormati dan menghargai, Nak. Senyum itu perbuatan baik, loh, Nak. Dengan senyum, kita menebar semangat dan mengusir lelah. Smile, please... OK. Nak, kita tidak akan tahu kapan kita akan meminta pertolongan atau dimintai pertolongan, maka alangkah baiknya kita selalu mengasah kepekaan dan menanam kebaikan serta menebar pertolongan. 


Selepas Maghrib, kami baru sampai di Air Panas. Sedikit cemas melewati Air Panas di malam hari dengan kondisi gelap. Saat kami melangkah di atas batu yang licin, kecemasan semakin bertambah apalagi suara derasnya air panas yang menderu. Uh, seru! Bergantian saling bantu menbantu agar selamat melewati air panas yang benar-benar panas. Yap, kaki tak sengaja masuk di sela-sela batu dan tercelup ke air, itu rasanya... Nyesss serasa diseduh. 

Telah melewati Air Panas, rasanya lebih tenang. Lalu, kami melewati Kandang Batu yang telah ramai orang berkemah. Lalu, apa kabar dengan Kandang Badak? Bukan main ramainya tenda-tenda bertebaran. Mencari  ke bagian atas dan bawah, akhirnya kami dibantu oleh abang pendaki mendirikan tenda, dan di sekitar itu, tenda kami yang paling besar. Ih wow... 

Nak, perjalanan hingga di Kandang Badak mengantarkan kami pada malam yang ramai. Ya, Bunda nggak bisa tidur pada malam yang ramai. Pada malam itu, banyak orang-orang yang masih lalu-lalang terdengar suara sepatu-sepatunya dan banyak orang-orang yang bercengkrama bertema makanan dan pendakian. Yang justru pembicaraan mereka membuat Bunda khawatir makanan dan alat makan di luar tenda. Ya ampun, semuanya masih di luar tenda! 

Pukul 03.00 kami bangun untuk mendapatkan sunrise di Puncak Pangrango. Perjalanan luar dari dugaan. Kami masih dalam perjalanan di saat waktu menunjukkan pukul 05.00. Sempat terpikir... Sudaaaaahi rasa ini. Ya ampun, Pangrango membuatku terkantuk-kantuk menanjak tanahnya yang terjal dan belukar. Sahabat memang saling menguatkan dan yang paling penting memahami. Maka, aku tidak mau mengulangi kesalahan lagi. Kesalahan apa? Hmm nanti, deh Bunda cerita itu, bahas Pangrango dulu, ya...  

Hingga matahari telah terang benderang pada hari Minggu tanggal 8 Juni 2014, kami baru sampai di Puncak Pangrango yang se-la-yar dengan Gunung Gede... se-la-yar... Baiklah, kami lanjut ke Mandalawangi yang tidak jauh dari Puncak Pangrango. Keinginanku ke Mandalawangi dimulai saat diriku di Papandayan, mendengar puisi Gie yang sangat menyayat jiwa *lebay. Menyebutkan Lembah Mandalawangi. Ah, cantik kah ia??? 


Menuju Mandalawangi


Bunga di Mandalawangi

Eidelweis di Mandalawangi

Langit di Mandalawangi
Jawabannya: Cantik. Sangat cantik... Gie berkata, tiba pada suatu masa yang biasa. Sekarang, aku berkata, Mandalawangi pada suatu masa yang luar biasa... 
Di sini, aku mencoba menikmati semua panorama. Membuka mata yang telah tertutup semak belukar kebosanan dan menatap langit yang bebas untuk menghalau kecemasan kenyataan. Terimakasih, Tuhan... Hidup memang harus disyukuri. 

Hahaha, Nak. Bunda kasih tahu, ya. Salah satu cara mensyukuri puncak adalah... pernah tidur di sana. Sungguh, benar-benar nyenyak... Hahaha... Oh iya, satu hal yang harus kamu ingat, tanggal 8 Juni adalah ulang tahun Ayahnya Bunda. Kuucapkan di Mandalawangi untuk Ayah tercinta: Selamat Ulang Tahun, Ayah. Semoga Ayah selalu bahagia...  



Ade tertidur di Mandalawangi

Mega dengan Eidelweis

I love Ummi

I love Ayah

Mega


Salam ceria dari Mandalawangi

Semoga kamu ada, Nak. Salam ceria dari Mandawangi... 
Terimakasih, Tuhan...

2 komentar:

  1. hahaha.. cerita dari sudut pandang yang menarik.. :p

    semoga nanti, anak-anak kita masing-masing bisa mendengarkan cerita langsung dari ayah bundanya :D

    memang indah, tapi seperti yang pernah gua bilang "lebih indah kalau bersama kalian, di mandalawangi, lembah berkumpulnya bunga abadi"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai... om dudu. Di semarang ada ngga orang yg kayak kita? Hha... kpn ya bikin blog mcm ini lg... hmm

      Hapus

Lihat, baca, dan rasakan. Bagaimana pendapatmu, Kawan?